Home » , » Perkembangan Etnis China Muslim Di Cirebon

Perkembangan Etnis China Muslim Di Cirebon

Written By Novita Anggraeni on Monday, January 27, 2014 | 12:46 AM

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan Ipoleksosbud akan terjadi perubahan-perubahan tata nilai yang terserap. Gejala-gejala menuju ciri-ciri masyarakat modern telah mengubah sikap prilakunya. Orang yang sedang mengalami perubahan status sosial ekonomi, seperti pendidikan, jabatan dan materi mampu mengubah pola pikir manusia menjadi ekslusif, fungsional. Dalam melakukan asimilasi, sering terjadi nilai yang terserap hanya nilai-nilai sekundernya saja, tetapi nilai primernya terlewatkan begitu saja, sehingga mereka sering bersikap berlebihan. Menyadari itu semua bahwa masing-masing Etnis untuk menjalin relasi antar Etnis memiliki nilai budaya yang berifat positif dan negatif, maka dalam melakukan interaksi antar Etnis hendaknya nilai yang positif dari masing-masing Etnis diketengahkan, Sedangkan nilai negatif tetap disisihkan. 

Bentuk perhatian terhadap lingkungan sosial tidak selalu dalam bentuk perhatian pada bangsa dan Negara dalam skala nasional, malainkan dapat juga memberikan perhatian kepada kelompok lain dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk perhatian tidak selalu sesuatu yang berlebihan, melainkan bila sekedar sapaan yang wajar sekalipun itu warga masyarakat menengah kebawah ‘sinon pri’ maka dalam bentuk pembauran telah menunjukan pengakuan eksitensi orang tersebut sebagai masyarakatnya si pri. Sebaliknya sekalipun orang Etnis menyapa dengan wajar terhadap warga pri, hal ini merupakan pengakuan akan eksitensinya manusia Cina yang tidak perlu dikhawatirkan dengan sikap yang penuh prasangka dan curiga terhadap warga pribumi. Kiranya peran aktif dari kedua belah pihak sangat diharapkan. Menghargai individu yang satu dengan yang lainnya sebagai makhluk yang memiliki derajat yang sama, sehingga individu yang satu dengan yang lain diperlakukan secara sama.

A. Perkembangan dari Generasi ke Generasi 
Masyarakat Muslim Cina di Indonesia sebetulnya sudah terwujud pada awal perkembangan Islam yaitu akhir abad 15. Akan tetapi perwujudannya tidak menjadi suatu masyarakat tertentu yang ekslusif. Mereka mempunyai kebudayaan yang unik, yaitu perpaduan antar kebudayaan Tionghoa, Islam dan pribumi sehingga pada masa perkembangan Islam di nusantara ini tidak dijumpai masalah Cina ataupun masalah Pri dan Nonpri (Budiman, 1979: Hal 9-10). 

Menurut Haji Ma Huan bahwa di daerah Jawa Timur, terdapat tiga golongan bangsa Islam. Yang pertama orang-orang Islam yang berasal dari kerajaan-kerajaan asing yang terletak di sebelah barat dan telah datang ke Majapahit sebagai pedagang. Pakaian dan makanan dari tiap-tiap orang tersebut kelihatan bersih dan layak. Kedua, orang-orang Tionghoa yang berasal dari Yunan. Pada masa dinasti Tang, Chang, Chou, Chiunn-chon dan daerah-daerah lain (Yuanzhi : 2005, 24-25).

Sama seperti halnya di atas juga mereka bersih, serta banyak dari mereka yang telah mememluk agama Islam, yaitu sudah melakukan sembahyang dan berpuasa. Sedangkan dengan kelompok yang ketiga adalah orang pribumi yang masih mempunyai pola-pola hidup dan kebudayaan yang masih terbelakang, (Budiman, 1979: Hal 9-10). 

Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam yang sering dijumpai Haji Ma Huan tersebut adalah mereka yang sudah memeluk agama Islam sejak masih di Negeri asalnya. Agama Islam sendiri di RRC bukanlah suatu agama yang banyak dipeluk oleh penduduk di negerinya. 

Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa orang diantara anggota masyarakat Tionghoa yang sudah membaur, berhasil menempatkan dirinnya sebagai elite dalam masyarakat. Beberapa tokoh diantara lain adalah Raden Patah, Sultan Demak pertama yang mana diantara mereka adalah peranakan keturunan dari orang Tionghoa. 

Perkembangan generasi ke generasi selalu di temui kesenjangan dalam proses sosialisasi nilai-nilai keIslamannya. Tentang sedikitnya jumlah orang-orang Cina yang memeluk Islam pada masa penjajahan tentu saja ada beberapa faktor yang memepengaruhinya. Diataranya adalah politik pemerintah kolonial yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan yaitu golongan orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Dalam pembagian golongan penduduk yang demikian orang Cina merasa lebih tinggi statusnya dari pada pribumi yang kebanyakan bergama Islam. Disamping itu gelombang imigran dari wilayah utara Cina yaitu daerah Amoy, pada zaman penjajahan. Bukan merupakan orang-orang Cina yang berasal dari wilayah Islam, akan tetapi imigran ini berbeda agama dan berbeda latar belakang kebudayaan yaitu pengembara non muslim. Namun demikian usaha-usaha untuk mengembangkan agama Islam dikalangan Cina di kota Cirebon selalu ada, meskipun tidak secara rutin. Diantara tabligh akbar yang diselenggarakan di belakang kantor Majlis Ta’lim Hidayatullah adalah Bapak H. Yuceng selaku pembicara. 

Pada tahun 1970an yaitu sejak berdirinya oraganisasi Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) di Cirebon yang sebelumnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, organisasi di Cirebon ini dan mampu mengkoordinir masyarakat keturunan untuk selalu rukun dan hormat-menghormati antara sesama umat, sekalipun nonpri yang belum masuk Islam. Menurut bapak Yuceng selaku pembicara dalam setiap pengajian umum adalah hanya bersifat sekedar mengadakan pengajian umum saja bukan yang bersifat besar-besaran seperti peringatan Isra Miraj, pengajian-pengajian dan bimbingan keagamaan secara intensif belum pernah kelihatan, meskipun para pembimbing telah berulang kali mengiyakan kesediannya untuk membimbing mereka (wawancara A. Sugiono, salah satu uztad Pembina Mualaf Cirebon).

Kebangkitan kembali gerakan dakwah islamiyah di kalangan Muslim Cina pada tahun 1980an hingga sekarang tidaklah merupakan usaha-usaha pengurus PITI pada masa sebelumnya. Bergerak dan yang di gerakan dalam dakwah Islamiah di kalangan Tionghoa Muslim di kota Cirebon adalah pribadi-pribadi yang kebanyakan mulai memeluk Islam pada tahun 1980an sampai sekarang. hubungan antara orang Islam yang dipandang sebagai tokoh dengan Muslim lainnya semata-semata dijalin dengan ukhuwah Islamiah dan bukan melalui organisasi sebagaimana PITI pada masa sebelumnya. Dalam hal pembinaan, Muslim baru yang sekarang ini sangat terikat dengan guru-guru agama yang mengantarkan mereka masuk Islam.

B. Kelompok Organisasi Keagamaan 
Kelompok organisasi keagamaan di kalangan masyarakat Muslim Cina ada dua macam, yang pertama kelompok sosial keagamaan yang berbentuk organisasi yaitu tingkat nasional yaitu PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) organisasi ini telah memiliki cabang-cabang kepengurusan di kota dan Kabupaten di Jawa Barat. Kedua kelompok sosial keagamaan yang bersifat ukhuwah Islamiah atau sejenis dengan persaudaraan Islam. Kelompok yang kedua ini tidak mempunyai cabang seperti PITI dan lebih bersifat kelompok sosial keagamaan lokal. Meskipun demikian, dibeberapa kota, kelompok keagamaan ini telah membentuk suatu organisasi dan Malis Ta’lim seperti halnya di Cirebon yaitu Majlis Ta’lim Hidayatullah dan MPTC (Masyarakat Peduli Tionghoa Cirebon).

Dalam hubungannya dengan keikutsertaan dalam kelompok keagamaan, sebagian besar Muslim baru tersebut tidak bergabung atau menjadi anggota suatu organisasi atau kelompok keagamaan manapun, bahkan sebagian besar menyatakan tidak bersedia dibawa kesalah satu organisasi keagamaan tertentu. Ketidaksediaan mereka memasuki salah satu organisasi keagamaan tersebut disebabkan karena rasa takut yang pada akhirnya memungkinkan akan mendatangkan masalah pada kaum Tionghoa Muslim nantinnya. 

Perasaan takut terhadap organisasi itu berlaku pada seseorang Muslim Cina lainnya, keagamaan tersebut juga berlaku seperti mereka yang bergabung dalam suatu organisasi PITI tersebut beralasan yaitu dengan masuk organisasi tersebut mereka beranggapan belum dapat membaur ke dalam masyarakat Bangsa Indonesia secara tuntas. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dengan masuk suatu organisasi, Muslim Cina akan melahirkan suatu ekslusifme baru, padahal mereka berharap dengan memeluk Islam akan menuntaskan segala masalah ‘Cina’ keturunan di Indonesia. Akan tetapi para Muslim Cina di Cirebon enggan untuk mengatakan bahwa dirinya sebagai anggota organisasi tertentu. 

Hubungan perdagangan antara negeri Cina dan Indonesia sudah sejak lama berlangsung. Pedagang Cina datang ke kota pelabuhan di pantai utara Jawa untuk menukar lada dari Sumatera dengan sutera dan porselin dari Cina. Diantara pedagang-pedagang itu sudah banyak beragama Islam. Orang-orang tersebut kebanyakan dari propinsi Kuantung, Chang Chou, Chuan Choudan daerah Islam lainnya yang berada di Cina. Semula mereka tidak beristri, yang kemudain banyak dari mereka beristrikan wanita pribumi. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa adanya asimilasi atau perkawinan campuran. Dari perkawinan campuran tersebut dapat dibedakan dalam banyak hal, orang-orang Tionghoa Muslim yang terdapat di daerah Jawa barat khususnya di daerah Cirebon telah banyak perubahan yang secara luas. Didalam kehidupannya telah menyerupai orang pribumi asli, yang telah lupa akan bahasa asalnya, dan bahkan dalam ciri fisiknya sering juga sudah menyerupai orang Indonesia asli. 

C. Keadaan Etnis Tionghoa Muslim 
Pada zaman dahulu sejak kira-kira setengah abad yang lalu masuknya seorang Tionghoa ke dalam agama Islam dipandang suatu hal yang sangat menarik perhatian dan jadi perbincangan dimana-mana. Di sebut sebagai saudara baru, meskipun dari masyarakat Tionghoa sendiri dipandang bahwa yang masuk agama Islam itu telah turun jadi “in lander” yaitu gelar yang rendah martabatnya yang selalu dialamatkan negeri sendiri. Demikian besar pengaruh perasaaan diri itu, apalagi karena sebutan sebagai mu’alaf yang diberikan kepada orang yang baru masuk Islam itu. Padahal kalimat mu’alaf tersebut dalam Al Qur’an sendiri mu’alaf adalah orang yang dirangkul hatinya dan disamakan derajatnya dengan orang Islam lainnya, tegak sama tinggi dan duduk sama rendah. 

Sebenarnya orang-orang Belanda datang ke Indonesia mereka telah menjumpai adanya orang-orang Tionghoa yang beragama Islam. Pada selanjutnya istilah itu berkembang dan mengalami perubahan arti, tidak lagi bagi orang Tionghoa yang bergama Islam, tetapi orang singkeh yang baru datang dari negeri tiongkok yang sama halnya seperti lainya, sedangkan orang tinghoa yang beragama Islam disebut “peranakan” dan justru digunakan bagi orang Tionghoa yang lahir dari seorang ibu pribumi atau blasteran Tionghoa. 

Pada waktu tersebut orang Tionghoa yang telah bergama Islam bertempat tinggal terpencar di kampung dan pinggiran kota. Diantara kaum Tionghoa yang berada dikampung dan pinggiran, kota ternyata adalah salah satu bagian dasar dari tujuan yang sama yaitu untuk menyiarkan agama Islam khususnya dikalangan masyarakat Tionghoa. 

Pada masa tahun 70an, minat orang Tionghoa untuk masuk Islam masih relatif sedikit, hal tersebut disebabkan masih adanya sikap permusuhan kepada orang-orang Tionghoa yang dapat menciptakan sumber ketegangan, karena itu keamanan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Mereka memandang agama lain dapat memberikan perlindungan serta rasa aman. 

Pada tahun 1963 di Jakarta lahir PITI atau perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia yang merupakan gabungan dari perkumpulan yaitu PIT atau persatuan Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Muslim PTM, menurut Yap. A. Siong salah satu orang pendirinya pada tahun 60an itu sudah dibukanya kesempatan bagi WNI keturunan untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia, banyak anggota PITI yang menyatakan karena sudah berganti nama Indonesia, karena itulah ditambah nama Indonesia di belakangnya ataupun dengan nama Indonesia asli. Pada akhirnya pada tahun 1972 organisasi ini dibubarkan. Sebagai gantinya telah dibentuk wadah baru yang sekalipun masih bernama PITI akan tetapi merupakan singkatan dari sebuah nama yang baru yaitu Pembina Iman Tauhid Islam. 

Sejak kurun waktu 70an orang Indonesia di harapkan menganut salah satu agama berorganisasi dan di haruskan menyatakan agamanya di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Orang yang tidak beragama sering diperlakukan sebagai orang komunis yang akan membuat hidup sangat tidak Islam. 

Dapat dipahami bahwa banyak orang Tionghoa di Indonesia mulai mengidentikasikan diri dengan salah satu kelompok keagamaan yang ada teristimewa agama Budha, dan Kristen, akan tetapi sebelum tahun 70an sedikit sekali yang menjadi orang Islam, selain kondisi sosial politik yang tidak mendukung Islam dan prasangka yang ada terhadap agama Islam ini. 

Pada waktu itu ada beberapa orang Tionghoa yang mulai berani pindah agama Islam. Mereka bahkan memeluk Islam dengan keinginan mereka sendiri dan dipelori oleh almarhum Yap. A. Siong dan H. Abdul Karim Oie Tieng Hien seorang anggota Majlis Ulama dari Sumatera Barat. 

Organisasi tersebut sudah tentu sangat penting artinya bagi penyiaran agama Islam dikalangan masyarakat Tionghoa, meskipun begitu dakwah Islamiayah di kalangan masyarakat Tionghoa bukan suatu hal yang mudah, oleh karena dalam hal ini kita jumpai adanya berbagai macam faktor penghambat yang boleh dikatakan merupakan tembok-tembok tebal yang menghalangi orang-orang Tionghoa memeluk Islam, seperti halnya yang pernah dikatakan oleh H.Abdul Karim Oie Tieng Hien sebagai berikut : 

“…..ada daiantara orang Tionghoa yang masuk Islam, sehabis mengucapkan syahadat terus ia pakai sarung, songkok dan supaya lebih dikenal lagi, memilih songkok warna putih, dan tiap hari kamis dan jum’at datang ke masjid membawa buntalan beras untuk minta sedekah. Demikian orang-orang Tionghoa memang sudah berprasangka pada Islam makin menjauhi Islam….” 

1. Pendidikan 
Di Indonesia masalah kelas-kelas sosial merupakan isu yang sangat penting terutama dalam pergaulan sosial dan status seseorang di masyarakat. Status sosial di Indonesia yang mengalami modernisasi dan bertahan hampir dari seratus tahun adalah : status pendidikan. Setelah status dengan basis keturunan dan pemuka agama dianggap sudah ketinggalan jaman, pendidikan seakan terus tegar dan mendapat tempat. Bahkan status kepemimpinan agama sekalipun tak afdol bila tidak dikawinkan dengan gelar-gelar pendidikan seperti : Profesor Agama, Master Agama, atau Sarjana Agama. Gelar di Indonesia sudah merupakan produk spesifik yang mengarah pada Produk Konsumen. Jika beberapa waktu lalu kita mendengar gelar kebangsawanan bisa dibeli, maka gelar pendidikan bukan saja masalah jual beli tapi sudah merupakan industri yang mau tak mau menyeret komersialisasi sebagai bahasa komunikasinya. 

Jika komersialisasi dilakukan pihak swasta yang mendapat lampu hijau dari Negara mungkin masih bisa dimaklumi walaupun saya katakan itu juga tidak bermoral, namun bila itu dilakukan oleh pendidikan yang diselenggarakan Negara, dibiayai oleh pajak rakyat dan merupakan bagian dari tanggung Jawab Negara maka Negara telah kehilangan kepercayaannya untuk melaksanakan salah satu poin penting alasan Negara Republik Indonesia berdiri “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. 

Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting, untuk kemajuan kecerdasan seseorang ataupun suatu bangsa. Pemerintah kolonial dalam menjalankan politik menggunakan cara pemisahan, demikian juga dengan pemisahan sekolah Cina. Dalam bidang pendidikan pada pemerintahan kolonial, golongan Cina peranakan masuk pendidikan sekolah Cina Belanda, dan sekolah golongan Cina totok masuk ke sekolah Cina. 

Setelah bangsa Indonesia merdeka, tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk membimbing murid-murid agar menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung Jawab, sedangkan dasar pendidikan sesuai dengan dasar keadilan sosial, dan semua sekolah harus terbuka untuk setiap Warga Negara dan semua lapisan masyarakat. 

2. Kehidupan Sosial Ekonomi 
Seperti halya orang perantauan yang lainya, sudah barang tentu Etnis Cina mempunyai etos kerja dan mentalitas yang kuat dalam menjalani kehidupan. Kebanyakan Etnis Cina berhasil dalam dunia usaha terutama dalam bidang perdagangan (Zein 2000 :67-68). 

Pada masa Orde Baru, meski secara ideologis dan politik Etnis Cina dapat dikendalikan, namun dalam bidang ekonomi pemerintahan Orde Baru lambat untuk melakukan tranformasi ekonomi yang lebih distributif. Secara nyata dapat dilihat bahwa Etnis Cina merupakan pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi yang sangat besar. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa mereka memilih modal untuk membiayai proyek-proyek yang di terapakan oleh pemerintah pusat da pemerintah daerah dalam hal ini Pemda Cirebon. Pemerintah Orde Baru dan Etnis Cina membangun kemitraan dalam berbagai usaha yang dimulai dari pengadaan pangan, kebutuhan rumah tangga, sampai teknologi canggih (Tarmizi taher, 1997 :25). 

Etnis Cina dikenal sejak lama memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia. Alasan mereka merantau ke berbagai belahan dunia karena motif ekonomi. Pada saat itu kaum imigran Cina datang ke Indonesia, kehidupan penduduk pribumi masih tergantung pada hasil pertanian saja. Dalam struktur masyarakat feodal, Etnis Cina kemudian mengusai sektor perdagangan. Sifat rajin, ulet, hemat dan yang lainnya di dalam berdagang sehingga dalam pola kehidupan mereka cenderung sepenuhnya kepada usaha ekonomi terutama dalam bidang perdagangan dan industri (Hidayat 197 :138). 

Pengerahan potensi tiap-tiap Suku bangsa maka haruslah melihat potensi yang ada pada mereka. Sebagian besar diantara mereka (Etnis Cina) khususnya di daerah Cirebon memiliki potensi perdagangan. Kepandaian tersebut bermanfaat dalam sektor pembangunan ekonomi, sifat keuletan dalam berusaha menjadi sifat dasar Etnis Cina, adalah suatu sifat yang dinilai tinggi. Warga keturunan Etnis 

Cina mempunyai peranan-peranan untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Peranan tersebut harus dijalaninya supaya tercipta hubungan yang harmonis antara Etnis Cina dan pribumi. Peranan dalam bidang sosial mereka dapat berbaur dan diterima keberadaannya oleh warga pribumi, akan tetapi terkadang ada prasangka buruk dari kalangan pribumi, adanya kecemburuan sosial yang dikarenakan tingkat perekonomian Etnis Cina lebih tinggi di banding dengan masyarakat pribumi. Sedangkan Etnis Cina dianggap sebagi warga pendatang tetapi Etnis Cina lebih berhasil dalam bidang ekonomi dibanding masyarakat pribumi pada umumnya. Sedangkan pihak dari Etnis Cina dengan status sosialnya yang tinggi bila dibandingkan dengan pribumi, membatasi pergaulanya dengan Etnis Cina. Hal ini sudah tentunya mengahambat usaha dari pembauran yang dialkuakan oleh pemerintah orde baru (Wibowo, 1999 :158).

Stereotipe sifat Etnis Cina yaitu rajin, ulet, hemat dan dapat dipercaya di dalam berdagang yang berada di Cirebon, sebagian besar adalah kelompok Hokian atau Cina Baru. Usaha-usaha tersebut dapat dijumpai dipusat-pusat perdagangan dan perbelanjaan di daerah Cirebon. Mereka bukan hanya mendominasi dalam bidang usaha besar saja namun juga menengah kecil usahanya memang sudah menjadi pembawaan mereka apapun itu agama dari mereka. Hokian merupakan Suku asli Cina yang banyak merantau ke wilayah Asia tenggara terutama Indonesia. Ketutrunan Hokian yang berada di wilayah Cirebon banyak ditemukan di setiap jalan -jalan di kota Cirebon. 

Sifat dapat dipercaya itu, membuat eksitensi mereka dalam bidang perdagangan selalu berkembang pesat. Baik dari Etnis Cina Muslim maupun non Muslim selalu sukses dalam usaha yang digelutinya karena tetap mempertahankan sifat-sifat tersebut. Meskipun tidak dapat dilihat dari keberhasilannya saja tetapi juga dalam perjuangan mereka dalam mewujudkan perekonomian Etnis Cina yang kuat. Dalam menjalankan usahanya semua sama, maksudnya mempumyai sifat dasar yang sama akan tetapi ada yang membedakan adalah cara bersyukur dalam mencapai kesuksesan. Etnis Cina Muslim mempunayi cara bersyukur sendiri kepada allah SWT atas semua yang telah diperolehnya (Wawancara dengan Yuceng 2 Desember 2008). 

Dalam mengembangkan usaha perdagangannya Etnis Cina berpegangan kepada tiga nilai yang dijadikan dasar atau pedoman Etnis Cina dalam menjalankan usahanya. Tiga nilai tersebut sebagai penentu prilaku bisnisnya yaitu : 
  1. Hopeng yaitu cara untuk menjaga hubungan yang baik dalam relasi bisnis, bagi Etnis Cina, bisnislah hal yang seluruhnya rasional sehingga hubungan dengan relasi sangat penting karena sebagian besar perusahaan Cina dalam mengepalai suatu kongsi atau perseroan adalah menggalang kerjasama dengan sesama anggota keluarga. Hopeng merupakan salah satu untuk mengurangi dagang yang sering kali bersifat sangat spekulatif. 
  2. Hongsui yaitu kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan buruknya manusia. Hongsui merupakan penunjukan bidang-bidang wilayah yang sesuai dengan keberuntungan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keberuntungan perdagangan. Prakteknya dari honsui pada dasarnya dalam sistem kultural mampu membuat perhitungan yang sangat hati-hati dalam perdagangan. Semua ramalan tentu saja boleh tidak dianggap rasional memang tidak pernah berakibat apa-apa terhadap usaha mereka. Namun ramalan itu penting untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan usaha dagang sehingga disinilah masyarakat Etnis Cina dituntut agar lebih berhasil menyiasati ramalan-ramalan dan berusaha memahami aturan-aturan yang terdapat didalamnya. 
  3. Hokkie yaitu peruntungan nasib baik. Para pengusah Etnis Cina memegang suatu konsep pengelolaan resiko yang diatasi dengan melakukan suatu pengeloalaan. Nasib atau takdir melalui hongsui sehingga terlihat bahwa hokkie lebih merupakan sugesti semata karena dunia sangat menantang. 


Di kawasan Gunung Sari yang merupakan gudang grosir berbagai macam kebutuhan keadaan tersebut tidak berubah sampai akhir Orde Baru. Etnis Cina dikawasan ini tidak menguraikan membangun rumah yang mewah mungkin karena pengaruh dari Hongsui dan Hokkie. Faktor-faktor Hopeng dapat dilihat dari usaha yang dijalankan mereka bertahan, turun temurun sehingga kuat dan sanggup bertahan sampai sekarang. Etnis Cina masih juga memegang tiga nilai tersebut dalam kehidupan baik itu dalam kehidupan pribadinya maupun bisnisnya. 

Apabila harus membangun rumah, mereka masih mempertimbangkan dengan nilai Hongsui walaupun telah hidup dengan masyarakat beragama Islam yang tidak mengenal Hopeng, Honsui, dan Hokkie, akan tetapi Etnis Cina Muslim yang berada di kawasan Cirebon tetap memegang tiga nilai tersebut. 

Secara umum mata pencaharian Etnis Cina Muslim adalah sebagai pedagang dan pengusaha. Walaupun telah beragama Islam, mereka mengakui bahwa ajaran Tri Dharma telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap setiap aspek kehidupan Etnis Cina. Pengaruh dalam diri juga dan prilaku ekonomi mereka. Mereka juga masih berpedoman pada ajaran Ngo Siang yang menekankan pada cerdas, dan waspada (tie) dan Pat Tik penekanan seseorang agar dapat dipercaya (sien), kedua ajaran tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar bagi Etnis Cina Muslim yang berada di kawasan Cirebon dalam mengembangkan usahanya. Sifat dapat dipercaya membuat eksitensi mereka dalam bidang perdagangan selalu berkembang pesat. 

Prinsip-prinsip perilaku ekonomi Etnis Cina di Indonesia memang berubah dari masa ke masa, tetapi secara umum prinsip perilaku ekonomi Etnis Cina tergantung pada pemahaman mereka terhadap kebijakan dan situasi kondisi politik nasional tentang keberadaan Etnis Cina secara nasional. Perilaku ekonomi ini akhirnya mengarah pada usaha yang sifatnya aman dan netral dalam arti tidak mengandung banyak resiko bagi keselamatan dan kesejahteraan diri. Bentuk konkret ekonomi Etnis Cina cenderung bergerak di bidang perdagangan (retail) dan keuangan, usaha-usaha yang sifatnya bukan usaha besar (karena usaha-usaha vital pengelolaannya dikuasai oleh Negara). 

Perilaku ekonomi yang cenderung proaktif, berbentuk usaha atau perusahaan keluarga, sudah menjadi ciri Etnis Cina di kawasan Asia termasuk Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh persepsi Etnis Cina terhadap identifikasi diri Etnis Cina terhadap Negara yang didiami. Khusus di Indonesia, persepsi ekonomi Etnis Cina terbagi antara persepsi ekonomi dan politik Etnis Cina “totok” dan peranakan yang awal keduanya hadir sebagai Etnis Cina perantauan. 

Etnis Cina “totok” terutama yang kondisi status ekonominya berada di bawah, cenderung berperilaku ekonomi dinamis dan berorientasi dagang. Perilaku tersebut termotivasi oleh harapan untuk hidup aman, makmur dan loyal terhadap adat, maupun kepatuhan terhadap keluarga, termasuk hubungan kerjasama Etnisitas sesama Etnis Cina. Sementara itu orang Cina peranakan cenderung lebih konservatif dalam berbisnis. 

Etnis Cina mengandalkan integritas suatu hubungan antar Etnis Cina di bidang ekonomi dan kekeluarga. Keseharian Etnis Cina, terutama yang belum atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton. Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama dalam hal makanan. Karakteristik lain yang dimiliki Etnis Cina di Indonesia adalah kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidup hemat. Mereka mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat kecuali untuk hari besar mereka. Senantiasa menghasilkan uang, sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan mereka. Prof. Wang Gung Wu, menegaskan bahwa sikap orang Cina mengarah pada kemakmuran (Wang dan Cushman, 1991:30). 

Perilaku bisnis mereka terbentuk oleh kebisaan berabad-abad. Ini menyebabkan mereka menciptakan manajemen yang khas, dimana saja meraka tinggal. Tetapi sementara itu mereka tidak akan kaku bilamana harus mengubah diri mereka sebagai mana mestinya keadaannya. 

Ciri yang konon terbentuk oleh kebisaan berabad-abad itu antra lain, terlihat pada perusahaan mereka yang lazimnya adalah perusahaan keluarga. Sedangkan kekayaan yang mereka himpun sebagian besar hanya beredar diantara anak dan keturunannya mereka sendiri. Ini menyebabkan orang luar sulit memanfaatkan kekayaan itu. 

Ciri yang lain, mereka membentuk usahanya tanpa tujuan membuat” merk”dagang ternama dan mereka lebih senang membeli pruduk dari Made in Hongkong ataupun Made in China. Itulah cara keluarga Cina melindungi dan menyelamatkan diri dari serangan orang luar. Membuat benteng keluarga dan menjauhi ketenaran. Mereka memang memutuskan dengan negeri leluhurnya, tetapi tidak berarti ke Cinaan lalu dihilangkan. Disetiap tahun baru imlek, Cina perantauan dimana saja merayakannya dengan pertunjukan dan makanan yang berkonsep Islam, bukan hanya itu saja pertunjukan barongsaipun masih ada yang dimainkan para pesilat – pesilat Cina. Pusat perayaan itu sendiri biasanya dirayakan di pusat keramaian seperti yang berada di Cirebon Grage Super Mall. 

Ketidaksiapan warga pribumi mengisi kekosongan yang ditinggalkan Belanda, cepat dilirik oleh para pengusaha Cina. Meskipun masih ada beberapa perusahaan Belanda yang tersisa, namun sektor perdagangan skala menengah dan kecil banyak mulai dikuasai pengusaha Cina. Satu adalah Cina peranakan, yang banyak bergerak di sector bisnis sakala menengah, bisnis pinjaman uang, dan proses hasil-hasil agrikultur. Jenis yang lain adalah Cina totok, yang mampu dengan sukses melakukan penetrasi ke sektor industri manufaktur. 

Salah satu kesamaan karakteristik antara Etnis Cina di Indonesia dengan masyarakat pribumi berkaitan dengan konflik adalah sama-sama lebih menyukai penyelesaian perbedaan melalui negoisasi, dibandingkan pemecahan konflik secara formal. Hal ini terlihat dari kentalnya jaringan kerja yang telah menjadi kebiasaan Etnis Cina, tentunya kondisi ini menjawab semua yang menjadi prilaku penting bagi ekonomi mereka. 

Sekalipun sementara orang hubungan itu sudah dianggap tidak menimbulakan permasalahan lagi, tetapi menurut teori Ami Chua(2002) dalam analisis sosial ekonominya mengindikasikan bila kekuatan ekonomi suatu masyarakat dipegang oleh Etnis minoritas, suatu saat akan menimbulkan kobaran api kerusuhan Etnis. Di karenakan perbedaan latar belakang sosial dan budayanya yang terlampau jauh dan memiliki potensi menimbulkan konflik. 

D. Interaksi Sosial antar Etnik 
Interaksi sosial dapat dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling ditunjukan oleh dan diantara dua orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial antar etnik, maka tindakan itu dapat dipandang terkait dengan identitas etnik sendiri (Suparlan, 1989:8).

Interaksi sosial merupakan kunci dari kehidupan sosial. Interaksi mengacu pada hubungan antara individu dengan individu lain, individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok. Interaksi dapat dilihat sebagai tindakan-tindakan yang saling ditujukan oleh dan diantara dua orang pelaku atau lebih. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial antar etnik, maka tindakan-tindakan itu dapat dipandang terkait dengan identitas etnik (Gilin, 1954:489). 

Usman Pelly (1989:1-9), mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan corak hubungan antar kelompok etnik masyarakat majemuk, yaitu: kekuasaan (power), persepsi (perception), dan tujuan (purpose). Kekuasaan merupakan faktor utama dalam menentukan situasi hubungan antar Etnis itu. Faktor lainnya ditentukan oleh faktor kelompok dominan (dominan group) yang banyak menentukan aturan permainan dalam masyarakat majemuk tersebut. 

Sejalan dengan konsep itu, Bruner (1969) yang mendasarkan penelitiannya pada masyarakat Indonesia mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan suatu kelompok Etnis itu berstatus dominan, yaitu: (1) faktor demografis, (2) politis, dan (3) budaya lokal (setempat). Dalam kaitannya ini, maka kelompok Etnis Jawa di Cirebon menduduki satus dominan (unggul) terhadap kelompok Etnis lainnya, karena secara kombinasi kelompok ini memiliki keunggulan dalam hal ketiga faktor diatas dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini juga terjadi pada Suku Sunda di Jawa Barat, Batak di Sumatera Utara, Bugis Makasar di Silawesi Selatan, dan di daerah lainnya. 

Kelompok Etnis adalah suatu populasi biologis mampu berkembang dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri kelompok, yang diterima oleh kelompok lain. (Barth dalam Habib 2004 : 19). 

Secara historis, orang Cina mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang lebih tinggi daripada orang pribumi atau orang Jawa. Hal ini disebabkan perlakuan pemerintah kolonial Belanda terhadap orang Cina pada waktu itu. Semasa pemerintahan kolonial Belanda, Belanda membagi Masyarakat menjadi tiga golongan. Golongan pertama ditempati orang-orang Eropa sebagai kelas atas, Golongan kedua ditempati oleh warga asing Asia yaitu Cina, Arab dan India mereka disebut sebagai kelas menengah Middlemen sedangkan orang pribumi ditempatkan di golongan paling rendah Inlander. Saat itu orang Cina sebagai salah satu golongan Timur Asing memiliki kedudukan ekonomi, status hukum, dan hubungan antar etnik yang lebih menguntungkan daripada pribumi. (Markamah 2000: 25 ).


*Dikutip dari skripsi Sdr. Basori yang berjudul Tionghoa Muslim di Cirebon
Share this article :

6 comments:

Tempat Wisata di Bogor said...

pada intinya ya gan kita nih dengan sesama muslim itu saudara, siapapun darimanapun asalnya tetap saudara kita, betul nda gan?

Zain Al Abid said...

admin postingan ini sangat menarik. boleh sayta tau naskah asli hasil penelitian atau skripsi ini? atau harus kemana ?

Pengobatan penyakit Prostat Secara Alami said...

masyaAlloh, perkembangannya bisa seperti begitu ??

muslim said...

luar biasa.. sangat informatif

Unknown said...
This comment has been removed by a blog administrator.
thanida said...

Visit this blog to learn lots of articles on writing.
แทงบอลออนไลน์

 
Support : Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Portal Cirebon - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger